REVITALISASI PENGASUHAN ANAK PADA FASE PRA LAHIR DAN GOLDEN AGE

REVITALISASI PENGASUHAN ANAK PADA

FASE PRA LAHIR DAN GOLDEN AGE

(SUATU TUNTUTAN DAN TANTANGAN MEMBANGUN KUALITAS SDM)

Prof. DR. Hj. SYAMSIAH BADRUDDIN, M.SI

I. Pendahuluan

Tak dapat disangkali, bahwa setiap hari, melalui media cetak maupun media elektronik kita banyak disodorkan berbagai informasi prilaku menyimpang yang terjadi di republik ini. Misalnya pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, pencurian, perampokan, perjudian , minum – minuman keras, narkoba perkelahian antar pelajar, tawuran dan lain sebagainya. Namun sungguh sangat ironis, oleh karena kebanyakan prilaku menyimpang tersebut umumnya dilakukan oleh generasi penerus yang berumur produktif ( 15 – 25 tahun ) bahkan tidak sedikit dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Kondisi ini sungguh sangat memperihatinkan, karena itu semua pihak dituntut untuk mengambil peran guna meredam sedini mungkin prilaku menyimpang tersebut. Salah satu unsur penyebab dari maraknya perilaku menyimpang di atas adalah tidak efektifnya pengasuhan anak yang dilakukan oleh orang tua baik pada fase pra lahir maupun pada fase golden age. Lemahnya pengasuhan anak pada suatu keluarga dapat terjadi selain karena kurangnya kesadaran orang tua juga karena rendahnya pengetahuan orang tua tentang betapa pentingnya fungsi dan peranannya sebagai pendidik pertama dan utama .

Mengapa pengasuhan pra lahir dan fase golden age perlu di revitalisiasi, oleh karena berbagai penelitian menunjukkan bahwa perkembangan otak berlangsung dengan pesat hanya pada masa janin (pre-natal), dan setelah itu praktis tidak ada lagi pertumbuhan sel-sel neuron baru.

Dalam keseluruhan siklus hidup manusia, masa janin (pre-natal) sampai dengan usia remaja (sekitar 15 tahun) merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM. Namun demikian periode yang paling kritis terutama ditinjau dari aspek gizi, kesehatan, dan psikologi adalah usia di bawah lima tahun (balita) denngan berbagai argument sebagai berikut :

Pertama, proporsi terbesar pertumbuhan dan perkembangan otak anak berlangsung pada masa janin sampai lahir. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pertumbuhan otak berlangsung dengan kecepatan yang tinggi dan mencapai proporsi terbesar (sekitar 90% dari jumlah sel otak yang normal) selama janin berada dalam kandungan seorang ibu. Kemudian berlangsung agak lambat dengan proporsi yang lebih kecil (10% dari kapasitas) sampai anak berusia 24 bulan. Setelah itu praktis tidak ada lagi pertambahan sel-sel neuron baru, walaupun proses pematangannya masih berlangsung sampai anak berumur tiga tahun (Linder, 1992 dan Levinger, 1995 dalam Hidayat Syarief, 2002).

Di sisi lain, dalam penelitian di bidang psikologi, fisiologi, dan gizi juga menyodorkan temuan yang memperkuat hasil riset di atas yang menunjukkan bahwa separuh dari perkembangan kognitif anak berlangsung dalam kurun waktu antara konsepsi dan umur 4 tahun, sekitar 30 % dalam umur 4 – 8 tahun dan sisanya yaitu 20 % berlangsung dalam umur 8 – 17 tahun. Jika dalam periode ini tidak tersedia zat gizi yang memadai, maka kapasitas otak yang terbentuk tidak maksimum, sehingga mengakibatkan lemahnya kecerdasan intelektual sang anak . (Hidayat Syarief, 2002).

Kedua, kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) mempunyai resiko tinggi terhadap kematian pada umur yang sangat dini atau lebih lanjut cenderung mengalami pertumbuhan dan perkembangan di bawah normal. Berbagai studi mengungkapkan bahwa anak yang dilahirkan dengan BBLR mengalami gangguan fungsi kognitif dan kecerdasan intelektual pada usia sekolah sehingga mengalami kesulitan belajar (Polit, dkk 1990 dan Hicks dkk, 1992).

Hal ini akan berimplikasi pada semakin banyak input proses belajar-mengajar yang harus diberikan kepada si anak di sekolah dan di luar sekolah. Sebaliknya anak-anak yang dilahirkan oleh ibu hamil yang diberi suplemen gizi pada semester ketiga kehamilan mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik dibanding kelompok kontrol sampai usia sekolah (Hicks dkk, 1992 dan Polit dkk, 1993 serta Kusbandiah, 1990 Hidayat Syarief, 2002).

Ketiga, kekurangan gizi pada periode kritis tersebut terutama pada masa bayi sampai umur dua tahun dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Gangguan tersebut sulit diperbaiki pada periode selanjutnya, bahkan dapat mengakibatkan cacat yang permanen.

Untuk lebih memperkuat argumen tentang betapa pentingnya merevitaslisasi pengasuhan pra lahir dan fase golden age ini, mungkin tidak berlebihan bila dalam kesempatan in, saya menyodorkan lagi hasil riset yang menunjukkan bahwa masa dini usia (golden age) merupakan periode kritis dalam perkembangan anak.

Berdasarkan kajian neurologi, bahwa ketika anak dilahirkan, otak bayi tersebut mengandung sekitar 100 milyar neuron yang siap melakukan sambungan antar sel selama tahun-tahun pertama. Otak bayi tersebut berkembang sangat pesat dengan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan yang trilyunan tersebut harus diperkuat melalui berbagai rangsangan psikososial. Karena bila sambungan tersebut tidak diperkuat dengan ransangan psikososial akan mengalami antrofi (penyusutan) dan musnah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.

Dalam kajian lain diungkapkan bahwa, sekitar 50 % kapabilitas kecerdasan manusia terjadi ketika anak berumur 4 tahun. 80 % telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Fasli Jalal, 2002).

Hasil riset tersebut mengisyaratkan pada kita semua bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya, dan sesudah masa itu perkembangan otak anak akan mengalami stagnasi. Itulah sebabnya mengapa masa ini disebut dengan masa emas ( golden age) karena setelah lewat masa ini, berapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu tidak akan mengalami peningkatan lagi.( Fasli Jalal 2002).

II. Pengasuhan Anak Dalam Keluarga

A. Nilai anak dalam keluarga

Anak merupakan generasi penerus yang di tangannya harapa keluarga diberkan. Untuk mewujudkan harapan tersebut tidak sedikit keluarga yang mempersiapkan anak-anaknya dengan perhatian, kasih sayang dan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya. Karena itu, anak bagi keluarga memiliki seperangkat nilai yang dilekatkan pada mereka (Amriyani, 2006).

Konsep nilai anak dalam keluarga menurut Esphenshade (1977), seperti dikutip Astuti (1999): The value of children can be thought as the functions they serve or needs they fulfill for parent” (Nilai anak adalah fungsi-fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya kebutuhan orang tua oleh anak). Bagi sebuah keluarga, anak mempunyai “konsepsi nilai”, yang merupakan perwujudan pandangan orang tua sebagai respon emosional terhadap anak-anak yang dimilikinya. Nilai anak bisa bersifat negative, bila anak merugikan keluarga. Sedangkan nilai tersebut menjadi positif apabila memberikan manfaat dengan hadirnya anak dalam keluarga.

Selain berkaitan dengan nilai ekonomi, nilai anak dapat pula berisikan sosial psikologis yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk kebanggan, kebahagiaan, kepuasan, keindahan dan pernyataan-pernyataan lain yang bermakna sosial psikolpgis. Seperti dikemukan oleh Chaniago (2005), bahwa ; “Anak mempunyai nilai dan kedudukan yang lebih tinggi dari harta bahkan anak merupakan kekayaan yang paling berharga di atas segala-galanya yang dimiliki. Anak merupakan perhiasan kehidupan dunia, yang menjadi kebanggan kedua orang tua.

Berkenaan dengan nilai anak tersebut, maka berbagai upaya yang dilakukan oleh orang tua dalam mepersiapkan anak-anaknya, agar kelak anak tersebut dapat memberikan kesenangan dan kebanggan orang tua. Salah satu yang perlu dilakukan oleh orang tua sedini mungkin adalah memperbaiki kualitas pengasuhan anak pada fase pra lahir dan fase golden age.

B. Pengasuhan dan Pendidikan anak Pra Lahir

Pengasuhan anak bukan hanya sebatas orang tua memberikan kebutuhan dasar ketika anak lahir dan kemudian membesarkannya tetapi juga pada kesiapan ibu dalam mengantisipasi kemungkinan yang dapat menyebabkan pengasuhan itu terganggu (Hamzah, 2000). Dengan demikian pengasuhan anak berhubungan dengan persiapan ibu pada pra dan pasca kelahiran anaknya. Selain itu pengasuhan anak terutama terkait dalam hal persiapan kelahiran yang meliputi program pemberian nutrisi, perawatan kehamilan, dan pembiasaan. Sedangkan pengasuhan pasca kelahiran meliputi menyusui, pemberian makanan dan pengasuhan bermain, masa remaja dan menjelang dewasa.

1. Fase Pembuahan.

Fase pembuahan merupakan salah satu fase penting dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dalam Islam, pendidikan pralahir hendak dimulai sejak awal pembuahan (proses nutfah). Artinya, jika seseorang menginginkan seorang anak yang pintar, cerdas, terampil, dan berkepribadian yang baik (saleh/salehah), ia harus mempersiapkan perangkat utama dan pendukungnya terlebih dahulu .

Adapun persiapan yang perlu dilakukan adalah memulai dan melakukan hubungan biologis secara sah dan baik, serta berdoa kepada Allah swt. agar dikaruniai seorang anak yang saleh. Kemudian setelah adanya proses nutfah, atas kehendak Allah proses tersebut berlanjut menjadi mudhghah. Pada fase inilah tampak jelas adanya kehidupan seorang anak dalam rahim. Oleh karena itu, orang tuanya-khususnya sang ibu-harus memperlakukannya dengan baik. Perlakuann yang baik itu di antaranya memberikan pelayanan yang tepat terhadap anaknya yang masih dalam kandungan. Tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang menimbulkan dampak negative (baik fisik maupun psikis) terhadap anak dalam kandungan, karena hal tersbut sangat berbahaya.

Pengasuhan pra konsepsi (fase pembuahan) adalah salah satu hal yang sangat sakral dan cendrung ditutup rapat oleh pasangan suami isteri. Bahkan banyak diantara mereka menganggap bahwa membicarakan hal tersebut adalah tabu, apatah lagi dibuka kepada orang lain. Padahal pengasuhan pra konsepsi ini sangat perlu disosialisasikan kepada orang lain, terutama kepada generasi penerus (anak yang akan menikah) agar nantinya mereka dapat melahirkan anak yang berkualitas.

Meskipun demikian, penulis telah berusaha menyingkap tabir pengasuhan pra konsepsi tersebut melalui suatu penelitian terhadap 12 keluarga bugis Wajo yang sukses mengasuh anaknya, sehingga menghasilkan anak-anak yang berkualitas dan patut dibanggakan. Salah satu fase yang dianggap paling penting adalah pengasuhan anak adalah fase pra konsepsi (mereka menyebutnya dengan istilah ”lemba dara”).

Pada umumnya 12 keluarga kasus berpandangan bahwa fase yang paling penting dalam membangun generasi yang berkualitas baik kualitas intelektual, emosional maupun spiritual adalah pada fase lemba dara. Seperti apa yang diharapkan tercipta semuanya tergantung pada saat lemba darana. Jika orang tua mengharapkan anaknya cerdas, pintar, cepat mendapatkan jodoh, cepat mendapatkan pekerjaan, cantik, anggun, mempesona,dan taat pada orang tua bergantung pada saat lemba darana.

Karena itu, para keluarga yang sukses mengasuh anaknya ini menganjurkan kiranya setiap keluarga dalam melakukan hubungan biologis hendaknya dilakukan dengan cara yang berkualitas , terencana dan terprogram bukan dengan cara spontan, tegesa-gesa apatah lagi asal jadi, karena pada fase hubungan biologis tersebut ada fase yang sangat menentukan yakni fase lemba dara itu

Ada beberapa petunjuk penting (selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai gaukeng) yang dianjurkan oleh keluarga kasus dalam mempersiapkan fase pembuahan, yaitu memilih waktu yang tepat, melakukan sesuatu sebelum dan setelah proses pembuahan tersebut.

Waktu yang paling baik adalah waktu setelah bangun tidur di subuh hari dan sebaiknya tidak tidur lagi, bahkan dianjurkan bagi orang Islam setelah melakukan sembahyang subuh. Dipilihnya waktu bangun tidur tersebut mengandung makna agar anak yang akan lahir diharapkan menjadi anak yang memiiiki optimisme yang tinggi, memiliki daya juang serta cerdas dalam berpikir dan bertindak. Sebaliknya jika dilakukan sebelum tidur dikhawatirkan anak akan memiliki sifat pemalas (mabattu), tidak memiliki semangat juang dan lamban dalam berfikir serta bertindak. Sedangkan jika dilakukan di antara dua tidur (setelah bangun tidur dan kemudian tidur lagi) dianggapnya itu kuburan, sehingga dikhawatirkan anak yang akan lahir tidak berumur panjang

Di samping waktu yang perlu mendapat perhatian, juga berbagai persiapan. Persiapan yang dimaksud antara lain; terlebih dahulu berwudhu bagi orang Islam dan kalau perlu mandi bersih, lalu melakukan shalat Hajat dan berdoa agar nanti jika diberi keturunan adalah keturunan yang baik, cerdas serta berakhlak mulia. Itulah sebabnya dianjurkan melakukannya setelah shalat Subhu, sebab pada waktu itu manusia (kaum muslimin dan muslimah) dalam keadaan bersih secara lahiriah (telah berwudhu) dan bersih secara bathiniah (telah melakukan shalat), sehingga apa yang dimohonkan kepada ALLAH SWT dapat terkabul .

Hal lain yang paling penting diperhatikan adalah hendaknya melakukan hubungan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, artinya tidak melakukan hanya karena keinginan suami semata, melainkan juga atas persetujuan sang isteri. Perlunya ada kesepakatan antara kedua belah pihak dimaksudkan agar anak yang akan lahir selalu patuh dan taat kepada orang tua. Yang harus dihindari adalah jangan sekali-kali memaksa dan mencuri (mengambil tanpa sepengetahuan isteri) isteri, karena hal tersebut akan menyebabkan anak yang lahir, nantinya juga jadi pencuri atau perampok, atau tukang memaksa. Hal tersebut diungkapkan oleh salah seorang keluarga kasus yang menceritakan tentang kelurga seorang pencuri atau perampok. Meskipun bapaknya pencuri atau perampok, namun tak satupun anaknya yang menjadi pencuri ataupun perampok, bahkan sebaliknya memperlihatkan perilaku yang baik dan terpuji. Apa rahasia sang perampok?, sang perampok mengatakan bahwa, setiap mau berhubungan dengan isteri tak pernah sekalipun memaksa, dan mecuri sang isteri, melainkan diminta baik-baik atau benar-benar dengan cinta dan keikhlasan sang isteri.

Cinta isteri tersebut dibuktikan dengan membantu suami memandu alat kelaminnya menuju sasaran. Gaukeng dengan memandu (napattuju) kelamin suami oleh isteri mengandung makna bahwa, anak yang akan dilahirkan nantinya memang sudah mencapai tujuan hidupnya atau sudah berhasil dalam segala hal (mattuju laleng). Sebaliknya, jika suami sendiri yang memandu kelaminnya, maka seringkali suami kewalahan untuk tepat mencapai sasaran, demikian pula anak yang dilahirkan, nantinya juga kewalahan dalam mencapai tujuan hidupnya antara lain susah mendapat pekerjaan, jodoh dan sebagainya.

Menurut keluarga kasus, Hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pada saat terjadi pembuahan (lemba dara) terutama ketika puncak kenikmatan, maka pada saat itu pulalah hendaknya suami dan isteri dianjurkan untuk berdoa sesuai dengan apa yang diharapkan bagi anaknya kelak.

Setelah selesai, maka keduanya hendaknya berada dalam posisi berhadap-hadapan (siangolo-ngolong) dan tidak saling membelakangi. Atau hendaknya suami isteri tetap saling berpelukan ( mereka menyebutnya dengan istilah ”mabburasa” artinya saling berdempet seperti buras). Hal ini mengandung makna, bahwa antara suami dan isteri sungguh saling menyayangi, sehingga kelak anak yang lahir juga selalu patuh dan taat pada orang tuanya.

Agar anak kelak cerdas, pintar dan cepat mendapatkan pekerjaan, keluarga kasus menganjurkan agar alat kelamin suami dicabut selagi masih ereksi. Sebab jika dicabut setelah loyoh, maka anakpun nantinya menjadi anak yang loyoh, pemalas, dan susah mendapatkan pekerjaan.

Setelah selesai, maka kelamin perempuan dibersihkan dengan tangan oleh sang suami, selanjutnya dibalurkan ke seluruh tubuh terutama muka anak-anak yang masih kecil khususnya anak perempuan. Hal tersebut dimaksudkan agar anak-anak perempuan banyak yang senang dan cepat mendapatkan jodoh. Selain itu, juga dapat dibalurkan ke muka (face) isteri, agar isteri senantiasa kelihatan cantik dan awet muda.

Dan masih banyak lagi gaukeng yang dilakukan oleh keluarga kasus sebelum, sementara dan setelah proses pembuahan. Kesemua itu sungguh merupakan pengetahuan dan kearifan local (local knowledge dan local winsdom) orang tua yang keampuhannya telah banyak dibuktikan di lapang.

2. Fase Kehamilan (fase anak dalam kandungan).

Fase kehamilan merupakan salah satu periode penting yang perlu mendapatkan perhatian khusus, agar anak dapat lahir dengan sehat baik jasmani maupun rohani.

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam bidang perkembangan pralahir menunjukkan bahwa selama berada dalam rahim, anak dapat belajar, merasa, dan mengetahui perbedaan antara gelap dan terang. Pada saat kandungan itu telah berusia lima bulan setara dengan 20 minggu, kemampuan anak dalam kandungan untuk merasakan stimulus telah berkembang dengan cukup baik sehingga proses pendidikan dan belajar dapat dimulai atau dilakukan (Nur Islam, 2004).

Para ilmuwan bidang pendidikan anak dalam kandungan juga telah banyak melakukan riset baru dan riset ulang secara kontinu dengan membuat langkah-langkah dan metode baru mengenai praktik pendidikan pralahir. Mereka telah menemukan banyak hal, mengenal keistimewaan pendidikan pralahir ini, diantaranya adalah peningkatan kecerdasan otak bayi, keyakinan lestari pada diri anak saat tumbuh dan berkembang dewasa nanti, keseimbangan komunikasi lebih baik antara anak (yang telah mengikuti program pendidikan pralahir) dengan orang tuanya, anggota keluarganya dan atau dengan lingkungannya dibanding dengan teman-temannya yang tidak mengikuti program pendidikan pralahir.

Berikut ini beberapa laporan yang sangat menggembirakan bagi dunia pendidikan anak khususnya dari F. Rene Van de Carr, M.D. dan Marc Lehrer, Ph.D. bahwa The American Association of The Advancement of Science pada tahun 1996 telah merangkum hasil penelitian sejumlah ilmuwan dalam bidang stimulasi pralahir dan bayi, antara lain sebagai berikut:

a. Dr. Craig dari University of Alabama menunjukkan bahwa program-program stimulasi dini meningkatkan nilai tes kecerdasan dalam pelajaran utama pada semua anak yang diteliti dari masa bayi hingga usia 15 tahun. Anak-anak tersebut mencapai kecerdasan 15 hingga 30 persen lebih tinggi.

b. Dr. Marion Cleves Daiamond dari University of California, Berkeley, AS melakukan eksperimen bertahun-tahun dan mendapatkan hasil yang sama berulang-ulang bahwa tikus yang diberi stimulasi tidak hanya mengembangkan pencabangan sel otak lebih banyak dan daerah kortikal otak yang tebal, tetapi juga lebih cerdas dan lebih terampil bersosialisasi dengan tikus-tikus lain.

Selain itu, menurut F.Rene Van de Carr, dkk., bahwa The Prenatal Enrichment Unit di Hua Chiew General Hospital, di Bangkok Thailand yang dipimpin Dr. C. Panthuraamphorn, telah melakukan penelitian yang sama terhadap bayi pralahir, dan hasilnya disimpulkan bahwa bayi yang diberi stimulasi pralahir cepat mahir bicara, menirukan suara, menyebutkan kata pertama, tersenyum secara spontan, mampu menoleh kearah suara orang tuanya, lebih tanggap terhadap musik, dan juga mengembangkan pola sosial lebih baik saat ia dewasa.

F.Rene Van de Carr, M.D., dkk., telah lama melakukan penelitian ini, kurang lebih sejak 22 tahun yang lalu. Menurut pandangannya, penelitian tersebut menunjukkan beberapa hal berikut ini pada bayi-bayi yang mendapatkan stimulasi pralahir.

a. Tampaknya ada suatu masa kritis dalam perkembangan bayi yang dimulai pada sekitar usia lima bulan sebelum dilahirkan dan berlanjut hingga dua tahun ketika stimulasi otak dan latihan-latihan intelektual dapat meningkatkan kemampuan bayi.

b. Stimulasi pralahir dapat membantu mengembangkan orientasi dan keefektifan bayi dalam mengatasi dunia luar setelah ia dilahirkan.

c. Bayi-bayi yang mendapatkan stimulasi pralahir dapat lebih mampu mengontrol gerakan-gerakan mereka. Selain itu, mereka juga lebih siap menjelajahi dan mempelajari lingkungan setelah dilahirkan.

d. Para orang tua yang telah berpartisipasi dalam program pendidikan pralahir menggambarkan anak mereka lebih tenang, waspada, dan bahagia.

Sebenarnya, keistimewaan-keistimewaan pendidikan anak dalam kandungan (anak pralahir) merupakan hasil dari sebuah proses yang sistematis dengan merangkaikan langkah, metode, dan materi yang dipakai oleh orang tuanya dalam melakukan pendidikan (stimulai edukatif) dan orientasi serta tujuan ke mana keduanya mengarah dan mendidik.

F. Rene Van de Carr telah menyimpulkan ada delapan prinsip dasar yang membentuk fondasi filosofi dan sekaligus prosedur program dan langkah-langkah kegiatan pendidikan pralahir, yaitu (a) prinsip kerja sama, (b) prinsip ikatan cinta kasih pralahir, (c) prinsip stimulasi pralahir, (d) prinsip kesadaran pralahir, (e) prinsip kecerdasan bayi/anak, (f) prinsip membiasakan perbuatan-perbuatan baik (akhlaqul karimah), (g) prinsip melibatkan kakak-kakak dan saudara-saudara sang bayi (ukhuwah sulbiyah), dan (h) prinsip peran penting ayah dalam masa kehamilan.

Sementara, menurut Dr. Baihaqi sebagian prinsip-prinsip tersebut dijadikan sebagai syarat dan metode untuk melaksanakan langkah-langkah pendidikan bayi pralahir. Baiknya kita pandukan saja pandangan kedua ilmuwan tersebut menjadi satu uraian untuk memberikan pemahaman nyata mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan pralahir. Berikut ini akan disajikan 3 diantaranya sebagai berikut :

a. Prinsip Cinta, Kasih Sayang, dan Kerja Sama

Salah satu di antara kebutuhan esensial manusia, secara psikis adalah cinta, kasih, dan sayang. Demikianlah yang sama menjadi unsur perekat dalam mengikat hubungan yang harmonis antara seorang istri dan suami. Adanya rasa saling kasih, cinta, dan sayang akan dapat memberikan dampak positif bagi keduanya, terutama bagi istri yang sedang mengandung, kebutuhan tersebut sangat dominan. Dalam melaksanakan pendidikan anak dalam kandungan (pralahir) suami harus mengasihi dan menyayangi istrinya yang sedang mengandung itu. Karena, hal tersebut akan membuat istrinya merasa senang, tenteram, aman, tenang, dan bahagia. Selain itu, kondisi tersebut menciptakan kedamaian dan kerukunan dalam rumah tangga, serta sehubungan antara keduanya (suami-istri) menjadi seimbang.

Keadaan ini dengan sendirinya akan menghasilkan kerja sama yang baik, menjadi sarana mudahnya melakukan aplikasi program pendidikan pralahir yang lebih efektif dan efisien. Program pendidikan pralahir, baik melalui stimulasi edukatif atau melalui latihan-latihan pendidikan yang dimuati nilai-nilai rasa cinta, kasih dan sayang, serta kerja sama yang harmonis antara keduanya akan sangat membantu bagi anak pralahir untuk belajar memberikan dan menerima kasih sayang dan kerja sama (interaktif) di antara mereka.

b. Prinsip Kecerdasan dan Ilmiah

Latihan-latihan pendidikan anak pralahir merupakan sensasi dan stimulasi untuk menarik minat anak dalam kandungan. Wujud sederhana dari keberhasilan pendidikan ini adalah adanya kemampuan untuk merespons sesuatu yang dipahaminya sebelum kelahirannya. Dengan membiasakan langkah-langkah sederhana dalam berbagai materi yang dapat memberikan sensasi atau stimulasi di mana si bayi dalam kandungan dapat menjawab atau meresponsnya, diharapkan kelak si anak dapat lebih banyak menerima dan meningkatkan minat dan keterampilan pada hal-hal yang baru. Keadan tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan daya kecerdasan otak dan sensitif terhadap suasana ilmiah si anak pralahir.

c. Prinsip Stimulasi Pralahir

Ketika umur kandungan atau kehamilan telah mencapai lima bulan atau dua puluh minggu, maka instrumen indra anak dalam kandungan sudah potensial menerima stimulasi dan sensasi dari luar rahim, seperti indra peraba bayi sudah merasakan sentuhan dan rabaan orang tuanya, indra pendengar bayi sudah mampu mendengar, misalnya suara khas ibunya, dan indra penglihatan bayi sudah mampu melihat sinar terang dan gelap di luar rahim. Dengan latihan pendidikan pralahir, berarti memberikan stimulasi sistematis bagi otak dan perkembangan saraf bayi sebelum dilahirkan. Selain itu, latihan-latihan edukatif pralahir membantu bayi lebih efektif dan efisien dan menambah kapasitas belajar setelah ia dilahirkan

Program pemberian nutrisi (yang halal). Selama kehamilan seorang ibu harus memenuhi kebutuhan makanan gizi lengkap dan seimbang serta vitamin (multivitamin). Makanan tersebut sangat diperlukan sebagai antioksidan yang melindungi tubuh dari radikal-radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan-kromosom atau jaringan sel bayi, atau berfungsi untuk pertumbuhan tulang-tulang dan daging bayi serta pertumbuhan sel-sel otak bayi dan pertumbuhan organ jasmaniah lainnya (Nur Islam, 2004).

3. Pengasuhan Anak Usia Dini (Fase Golden Age) di Lingkungan Keluarga

Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya. Kesalahan yang terjadi pada periode kritis akan membawa kerugian yang nyata pada masa depan bangsa. Investasi untuk perbaikan gizi dan kesehatan serta pembinaan anak usia dini akan membuat anak lebih siap belajar dengan baik pada saat sekolah. Investasi tersebut juga mempunyai efek positif yang panjang bagi kehidupan anak-anak di masa depan. Sehingga pada gilirannya akan berdampak positif sangat nyata bagi kemajuan bangsa. Produktivitas bangsa di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana upaya pengembangan anak usia dini dilakukan.

Pengembangan anak usia dini merupakan pilihan yang bijaksana dalam kaitannya dengan pembangunan SDM guna membangun masa depan bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Young (1996) mengemukakan paling tidak ada lima alasan pentingnya melakukan investasi untuk pengembangan anak usia dini (Early Child Development).

Pertama, untuk membangun SDM yang berkemampuan intelegensia tinggi, berkepribadian dan berperilaku sosial yang baik serta mempunyai ketahanan mental dan psikososial yang kokoh.

Kedua, untuk menghasilkan “Economic Return” yang lebih dan menurunkan “Social Costs” di masa yang akan datang dengan meningkatnya efektivitas pendidikan dan menekan pengeluaran biaya untuk kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, untuk mencapai pemerataan sosial ekonomi masyarakat, termasuk mengatasi kesenjangan antar gender.

Keempat, untuk meningkatkan efisiensi investasi pada sektor lain karena intervensi program gizi dan kesehatan pada anak-anak akan meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup anak, sedangkan intervensi dalam program pendidikan akan meningkatkan kinerja anak dan mengurangi kemungkinan tinggal kelas.

Kelima, untuk membantu kaum ibu dan anak-anak. Dengan semakin meningkatnya jumlah ibu bekerja dan rumah tangga yang dipimpin oleh wanita, pemeliharaan anak yang aman menjadi semakin penting. Penyediaan wahana untuk itu akan memberi peluang kepada wanita untuk berkarir dan meningkatkan kemampuan dan keterampilannya.

a. Pemberian ASI

Salah satu faktor terpenting disosialisasikan kepada masyarakat luas adalah manfaat ASI bagi perkembangn kualitas anak. Memberikan ASI pada bayi 0-2 tahun memberikan manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak. Manfaat tersebut antara lain :

1) Perkembangan psikomotorik lebih cepat. Penelitian di Inggris mendapatkan bahwa bayi yang mendapat ASI, dua bulan lebih cepat kemampuan jalannya dibandingkan bayi yang diberi susu formula.

2) Menunjang perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif anak, daya ingat dan kemampuan bahasa pada anak yang mendapat ASI lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapat susu formula.

3) Kandungan Taurin-sejenis asam amino kedua terbanyak dalam ASI; berfungsi sebagai neurotransmitte. Percobaan pada binatang menunjukkan defisiensi taurin akan berakibat terjadinya gangguan pada retina mata.

4) Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) adalah asam lemak tak jenuh rantai panjang yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal. Jumlah DHA dan AA dalam ASI sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan kecerdasan anak. Disamping itu DHA dan AA tersebut dapat dibentuk/disintesa dan substansi pembentuknya (precursor), yaitu dari Omega 3 (asam linolenat) dan Omega 6 (asam linolenat).

5) Ikatan kasih sayang ibu-bayi terjadi karena berbagai rangsangan seperti sentuhan kulit (skin to skin contact). Bayi akan merasa aman dan puas karena bayi merasakan kehangatan tubuh ibu dan mendengar denyut jantung ibu yang sudah dikenal sejak bayi masih dalam rahim. (Utami, dalam Harian Fajar, tanggal 22 September 2004)

Menurut Dr Utami selaku Ketua Sentra Laktasi Indonesia (Harian Fajar 22 September 2004) bahwa : tak hanya bayi yang diuntungkan dengan ASI, tetapi juga sang ibu, ibu yang menyusui akan mendapat beberapa manfaat antara lain :

1) Mencegah terjadinya kurang darah atau anemia defisiensi zat besi. Dengan menyusui ekslusif selama enam bulan, akan berpengaruh terhadap penundaan haid. Dengan menunda timbulnya haid, ibu dapat menyimpan zat besi dan mencegah anemia defisiensi zat besi.

2) Mencegah pendarahan saat ibu baru saja usai melahirkan dan mempercepat involusi uterus (pengecilan rahim seperti semula). Hal ini disebabkan karena pada saat bayi lahir dan segera disusukan ke ibunya, maka rangsangan hisapan bayi pada payudara ibu akan diteruskan ke hipofisis pars posterior yang akan mengeluarkan hormon progesterone yang mempercepat ibu kembali ke berat sebelum hamil. Dengan menyusui, timbunan lemak pada tubuh ibu akan dipergunakan untuk pembentukan ASI sehingga berat badan ibu akan lebih cepat kembali ke berat sebelum hamil.

3) Mengurangi resiko terkena kanker payudara dan ovarium. Cukup banyak penelitian yang membuktikan bahwa ada korelasi antara infertilitas dan tidak menyusui dengan peningkatan risiko terkena kanker, baik itu kangker payudara ataupun kanker ovarium.

4) Mempererat jalinan kasih sayang dan hubungan emosional. Sebab dengan memberikan ASI juga mempunyai pengaruh emosional bagi ibu dan bayi.

5) Lebih murah dan hemat. Berapa biaya yang harus dikeluarkan selama sebulan untuk memberi susu formula ketimbang ASI yang murah dan lebih bagus nilai gizinya.

6) Membuat hubungan seksual lebih hangat. Sebab, menyusui bayi akan mempercepat rahim untuk kembali ke bentuk semula. Sehingga hubungan seksual dengan pasangan pun akan lebih nikmat.

7) Dapat menunda kehamilan. Dengan menyusui secara ekslusif dapat menunda haid dan kehamilan, sehingga dapat digunakan sebagai alat kontrasepsi alamiah yang secara umum dikenal sebagai Metode Amenoera Laktasi (Harian Fajar, tanggal 22 September 2004).

b. Mengembangkan kepribadian anak.

Aspek penting yang mulai berkembang sehubungan dengan perkembangan intelegensia dan kesadaran anak pada masa kanak-kanak ialah perkembangan “Akunya”. Perkembangan Aku pada masa kanak-kanak merupakan salah satu ciri khas pada masa itu. Perkembangan kesadarannya sedemikian rupa sehingga anak “menemukan” atau menyadari tentang dirinya tentang kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini ia sadar tentang keadaannya atau kehadirannya di tengah-tengah keluarga dengan segala kepentingannya, tetapi belum meyadari tentang adanya bersama orang lain, yang juga dengan kepentingan dan hak kepunyaannya. Ia tidak atau belum sadari bahwa ada kepentingan bersama, ada milik orang lain selain dia. Ia belum mau mengerti bahwa ibunya itu adalah juga ibu dari kakak dan adik serta istri ayah. Ia tidak mau mengerti bahwa permainan itu adalah permainan kakaknya ataukah adiknya, apalagi anak-anak lain. Pokoknya dia punya semua.

Oleh karena itu pula, masa ini biasa disebut masa “aku” atau masa “raja”. Masa ini berlangsung sekitar umur antara 2 sampai 4 tahun. Dalam masa ini sang anak mengidentikkan dirinya dengan lingkungannya. Ia bersama dengan dunia sekelilingnya. Ia hidup dalam alam kebersamaan.

Setelah anak berumur antara 2 – 5 tahun, aktivitas utama anak adalah bermain. Bermain difantasikannya sebagai bekerja, sehingga apa yang dilakukan orang dewasa ditirunya, seperti main masak-masak bagi anak perempuan, mobil-mobilan bagi anak laki-laki dan sebagainya. Oleh karena itu, maka pada masa ini orang tua mulai mensosialisasikan jenis kelamin dan peran-peran yang diharapkan berkembang dalam diri anak melalui jenis permainan yang dibelikan atau dibikinkan.

Aktivitas bermain bagi anak-anak tersebut dapat menyebabkan rumah berantakan. Walaupun demikian keadaan tersebut dibiarkan saja demi mengembangkan imajinasi dan kreativitas berfikir anak-anak Setelah mereka bermain barulah orang tua menyelesaikan tugasnya dengan merapikan kembali barang-barang yang sudah berantakan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan Akan tetapi jika anak-anak sudah mulai beranjak besar, mereka lalu dilibatkan dengan perlahan-lahan untuk merapikan kembali bekas permainan mereka, sehingga dengan demikian mereka memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki kembali apa yang telah mereka lakukan. Pada dasarnya anak-anak tidak boleh dilarang untuk bermain dan membuat suasana rumah berantakan, melainkan memberikan kesempatan kepada mereka mengembangkan kretivitas dan fantasinya, agar kelak mereka tumbuh menjadi manusia yang kreatif, cerdas dan penuh tanggung jawab sepanjang tidak mengarah pada pengrusakan.

Meskipun demikian, kadang-kadang kesibukan anak-anak bermain dicap oleh sebahagian orang tua sebagai perbuatan nakal, sehingga mereka berusaha mencegahnya oleh karena takut prabot rumah tangga menjadi rusak. Padahal anak pada usia kanak-kanak tersebut, sesuai dengan perkembangannya memang nakal dan memang seharusnya nakal. Sebab, anak yang kurang beraktivitas (lamban, loyoh) yang dicap orang tua sebagai anak yang manis adalah sesungguhnya justru termasuk anak yang tidak normal dalam perkembangannya (Sarongallo, 1985).

Masa kanak-kanak selain sebagai masa bermain juga pada masa ini perkembangan ke akuannya mulai nampak, sehingga masa ini biasa juga disebut masa egosentris pertama (egosentri kedua terjadi pada masa pubertas atau remaja). Sebagai masa egosentris, apa yang diinginkannya selalu ingin dituruti, jika tidak mereka akan berontak dan menangis hingga orang dewasa terutama orang tua harus memenuhi keinginannya. Pada saat menangis dan berontak itulah sering orang tua menakut-nakuti anak pada seseorang atau sesuatu yang layak ditakuti anak seperti orang gila, polisi, hantu, setan, binatang dan sebagainya. Misalnya dengan berkata, ”yoah awas ada orang gila’, ”yoah awas ada setan”, ”awas nanti ibu panggil polisi”. Padahal cara seperti itu justru menyebabkan jiwa anak menjadi kerdil dan terbiasa takut pada orang lain, sehingga pada perkembangan kejiwaan selanjutnya anak-anak akan menjadi anak penakut dan memiliki nyali kurang

Selain menakut-nakuti seperti cara tersebut, cara yang paling gampang dilakukan orang tua adalah menjanjikan sesuatu, dengan berkata ; ”nanti ibu belikan baju baru yah”, ”nanti ibu bawa jalan-jalan”, ”diam yah nak nanti ayah bawakan oleh-oleh banyak sekali” dan sebagainya. Padahal kesemuanya itu hanya sekedar janji belaka sebagai upaya agar anak cepat diam dan kembali ceria. Cara tersebut juga akan meracuni pikiran anak-anak bahwa orang dewasa terutama orang tua boleh ingkar janji atau bohong, sehingga hal tersebut menjadi terpatri di dalam hati anak dan kelak jika dewasa mereka juga melakukan hal yang sama yakni suka ingkar janji dan berbohong . Oleh sebab itu jangan sekali-kali berjanji kepada anak-anak jika tidak mau menepati apatah lagi kalau memang tidak sanggup.

Kondisi dan pengasuhan anak di rumah sangat berpengaruh pada pribadi anak. Pengasuhan anak di keluarga umumnya berlangsung dalam lingkungan yang over protective dari ibunya. Akibatnya akan menjadikan anak menjadi kurang kreatif dan bersifat menunggu. Menurut Parsons, dalam differensiasi peranan antara ibu dan anak kadang kala orang tua memakai sumbu vertikal ibu/bapak adalah leader dan anak adalah follower (Parsons, 1992). Disini, posisi anak dipandang semata-mata sebagai obyek yang tidak berdaya, harus menurut dan sederet sebutan yang memandang anak pada posisi lemah pendidikan yang berorientasi pada orangtua (parents perspective) ini, sangat tidak menguntungkan bagi tumbuh kembang anak (Budi Setiawan, Bulletin PADU, edisi Perdana, 2002).

Pendidikan dan pengasuhan anak yang harus dikembangkan dalam upaya mengembangkan kreativitas dan tumbuh kembang anak usia dini adalah children perspective yang lebih mirip dengan model pendidikan andragogi. Pendidikan yang berpusat pada anak akan menbuat anak sejak usia dini sudah mengenal rasa tanggung jawab. Watak tepo seliro (yang oleh orang barat digembor-gemborkan sebagai Emotion Quotien-EQ) dan tidak pemalu (karena pendapatnya diterima/didengar). Model pendidikan seperti itu seyogyanya dapat diaplikasikan pada pengasuhan di penitipan anak.

Mengapa hal itu harus dilakukan ? Menurut John Bolby, pada dasarnya praktek pengasuhan anak selalu ditandai dengan adanya attachment yaitu interaksi yang terjadi antara ibu dan anak dalam rangka pemenuhan kebutuhan anak. Pada usia dini, anak memang sepenuhnya akan menyandarkan diri dalam memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan anak yang terpenuhi akan menjadikan rasa aman sehingga membentuk percaya diri. (John Bolby dalam Elizabeth B. Hurlock, 1990).

Menurut Selo Soemardjan, keluarga jaman sekarang seharusnya menganut model symmetrical family atau keluarga yang seimbang, yang demokratis dimana tanggung jawab pengasuhan anak jangan melulu dibebankan pada ibunya. Hal ini berarti bahwa ayah juga dapat menggantikan fungsi ibu dalam pengasuhan anak usia dini. Disamping itu seyogyanya, tugas pengasuhan juga tidak mesti menjadi tanggung jawab ibunya. Sehingga masalah keterpisahan antara anak dan orangtua seyogyanya tidak mengganggu tumbuh kembangnya.


III. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Fungsi pendidikan bagi anak dini usia (golden age) tidak hanya sekedar memberikan berbagai pengalaman belajar seperti pendidikan pada orang dewasa, tetapi juga berfungsi mengoptimalkan perkembangan kapabilitas kecerdasannya. Pendidikan disini hendaknya diartikan secara luas, mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya pendidikan dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri di lingkungan keluarga maupun oleh lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga.

Pembelajaran harus dilakukan secara menyenangkan yaitu melalui bermain kesenangan yang diperoleh melalui bermain memungkinkan anak belajar tanpa tekanan, sehingga disamping motoriknya, kecerdasan anak (kecerdasan kognitif, sosial-emosional, spiritual dan kecerdasan lainnya) akan berkembang optimal. Lebih penting lagi, dampak dari jenuh belajar berupa semakin menurunnya prestasi anak di kelas. Kelas yang lebih tinggi dapat dihindari. Pembelajaran yang menyenangkan merupakan pembelajaran yang berpusat pada anak, dimana anak mendapatkan pengalaman nyata yang bermakna bagi kehidupan selanjutnya. Pada gilirannya, melalui pendidikan anak dini usia yang pembelajarannya dilakukan secara menyenangkan akan membentuk manusia-manusia Indonesia yang siap menghadapi berbagai tantangan.

Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak dini usia disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Oleh karena faktor bawaan harus kita terima apa adanya, maka faktor lingkunganlah yang harus direkayasa. Kita harus mengupayakannya semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi oleh faktor bawaan tersebut dapat kita perbaiki.

A. Arti Pendidikan Anak Dini Usia bagi kualitas SDM

Secara konseptual, pembangunan kualitas sumberdaya manusia harus mencakup semua dimensi baik fisik maupun non fisik tersebut secara totalitas. Segenap potensi jasmani dan rohani manusia bisa berkembang secara sempurna dan dapat didayagunakan untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan hidup. Kualitas fisik dicerminkan dengan derajat kesehatan yang prima. Kualitas akal dicerminkan oleh daya fakir atau kecerdasan intelektual yang berkaitan dengan penguasan ilmu pengetahuan. Kualitas kalbu diukur dengan derajat keimanan dan ketakwaan, kejujuran, budi pekerti, moral dan akhlak. Kualitas akal dan kalbu secara bersama-sama melahirkan daya dzikir dan kesadaran diri yang mendalam akan hakikat manusia sehingga melahirkan emogensi atau kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang berkualitas.

Pendekatan holistik menekankan bahwa kualitas sumberdaya manusia ditentukan oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal yang berlangsung dalam keseluruhan siklus hidup, tahap yang sangat menentukan adalah pada saat janin (pre-natal) sampai usia remaja (sekitar 15 tahun), dan tahap yang paling kritis adalah sampai umur 5 tahun (balita). Usia dini, yaitu pada umur balita, adalah tahap yang rentan terhadap berbagai pengaruh fisik dan non fisik. Faktor-faktor yang menentukan tumbuh kembangnya anak balita baik fisik, psikologis, dan sosial sangat penting untuk diperhatikan dan dikendalikan agar dapat menjadi manusia yang berkualitas.

Bagi guru kelas satu, dua, tiga Sekolah Dasar yang berpengalaman, sudah tidak asing lagi adanya anak yang cepat mengerti pelajaran dan ada yang lambat, ada yang lebih berminat terhadap satu atau beberapa pelajaran dari yang lain, bahkan ada anak yang cepat sekali mengerti suatu pelajaran tertentu dan ada yang bakatnya berbeda-beda. Bakat (aptitude) dapat dirumuskan sebagai potensi kemampuan yang dibawa sejak lahir (inherent inner component of ability; Semiawan, C, 1997). Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat ini dan banyak pula yang dapat dilakukan oleh lingkungan dalam rangka pengembangan intelektual dan kreativitas anak dini usia termasuk bermain.

B. Arti Bermain Bagi Anak Dini Usia

Bagi anak, bermain adalah suatu kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui aktivitas bermain, berbagai pekerjaannya terwujud. Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena menyenangkan, bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian. Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya. Bermain adalah medium, di mana si anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif. Bila anak bermain secara bebas, sesuai kemauan maupun sesuai kecepatannya sendiri, maka ia melatih kemampuannya.

Permainan adalah alat bagi anak untuk menjelajahi dunianya, dari yang tidak ia kenali sampai yang ia ketahui dan dari yang tidak dapat diperbuatnya, sampai mampu melakukannya. Jadi, bermain mempunyai nilai dan ciri yang penting dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari seorang anak.

Bermain memiliki arti. Pada permulaan, setiap pengalaman bermain memiliki unsur risiko. Ada risiko bagi anak untuk belajar berjalan sendiri, atau naik sepeda sendiri atau berenang, ataupun meloncat. Betapapun sederhana permainannya, unsur risiko itu selalu ada.

Unsur lain adalah pengulangan. Dengan pengulangan, anak memperoleh kesempatan mengkonsolidasikan keterampilannya yang harus diwujudkannya dalam berbagai permainan dengan berbagai nuansa yang berbeda. Sesudah pengulangan itu berlangsung, anak akan meningkatkan keterampilannya yang lebih kompleks. Melalui berbagai permainan yang diulang, ia memperoleh kemampuan tambahan untuk melakukan aktivitas lain.

Fakta bahwa aktivitas permainan sederhana dapat menjadi kendaraan (vehicle) untuk menjadi hajat permainan yang kompleks, dapat dilihat dan terbukti pada kala mereka menjadi remaja.

Melalui bermain anak secara aman dapat menyatakan kebutuhannya tanpa dihukum atau terkena teguran, umpama; ia bisa bermain peran sebagai ibu atau bapak yang galak, atau sebagai bayi atau anak yang mendambakan kasih sayang. Di dalam semua permainan itu ia dapat menyatakan rasa benci, takut dan gangguan emosional lainnya.

C. Penuhi Kebutuhan Bermain Anak Dini Usia

Sering kali cara belajar formal seperti diuraikan di atas dilakukan demi kebanggaan orang tua. Orang tua bangga bila anaknya disebut juara di kelas, anak dipacu untuk belajar, belajar dan belajar, supaya menjadi pintar dan menjadi juara. Selain itu guru hendak “menghabiskan” kurikulum cepat. Tetapi dampak yang diperolehnya dari cara belajar seperti ini tidak menguntungkan. Dalam arti dampak yang paling ringan adalah bahwa anak-anak pintar di TK, mungkin pintar di kelas 1, 2 ataupun 3, tetapi ternyata menurut penelitian oleh Universitas Indonesia (1981), makin lama menjadi makin tidak pintar di kelas yang lebih tinggi.

Sedangkan mereka yang kebutuhan permainannya terpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan mental yang lebih tinggi, untuk menjelajahi dunianya lebih lanjut dan menjadi manusia yang memiliki kebebasan mental untuk tumbuh kembang sesuai potensi yang dimilikinya, sehingga menjadi manusia yang bermartabat dan mandiri. Lebih dari itu, ia terlatih untuk terus-menerus meningkatkan diri mencapai kemajuan.

IV. Tantangan Pengasuhan Dan Pendidikan Pra Lahir Serta Fase Golden Age Di Indonesia

Tak dapat disangkali bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi oleh orang tua dalam hal pengasuahan anak . Salah satu diantaranya adalah tantangan pada fase pra lahir dan fase golden ace . Tantangan yang dimaksud adalah sebagai berikut

Pertama, Pada generasi sekarang dan akan datang tidak lagi banyak melakukan persiapan dan mempertimbangan berbagai aspek yang berkaitan dengan fase pembuahan, seperti memilih waktu yang tepat tentang kapan sebaiknya melakukan hubungan suami isteri, melainkan mereka bebas melakukan kapan saja mereka inginkan. Kurangnya persiapan dan pertimbangan berbagai aspek tersebut antara lain disebabkan karena hingga saat ini sosialisasi dari orang tua tentang pantangan dan anjuran yang berkaitan dengan hubungan seksual antara suami isteri masih tetap tabu untuk dilakukan. Dengan kata lain, membicarakan tentang tata hubungan seksual antara suami isteri dengan anak-anak pra nikah masih dianggap kurang etis bagi budaya Bangsa Indoenesia. Akibatnya, sosialisasi tentang hal tersebut tak pernah diterima langsung dari orang tuanya, melainkan diperoleh dari orang lain terutama dari teman sejawatnya yang keadaanya tidak jauh berbeda dengan diri anak, sehingga pengetahun anak tentang hubungan seksual mengenai pantangan dan anjuran tak pernah tuntas, melainkan diperolehnya secara tidak transparent dan sepenggal-sepenggal.

Kedua, Perubahan sosial yang terjadi seiring dengan perkembangan zaman menyebabkan terjadinya perubahan secara perlahan-lahan atau perubahan cepat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Salah satu ciri masyarakat modern adalah masyarakat yang semakin rasional dalam berpikir dan berperilaku, sehingga perilaku-perilaku tradisional yang non rasional berangsur-angsur berkurang dan bahkan hilang sama sekali. Oleh karena makin rasionalnya masyarakat, maka perilaku pengasuhan yang dianggap non rasional misalnya prilaku pengasuhan fase pembuahan (gaukeng) semakin ditinggalkannya, oleh karena hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan logika atau akal sehat apalagi menjadikannya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Padahal prilaku non rasional yang sering disebut sebagai prilaku tradisional adalah salah satu bagian dari pengetahuan lokal (local knowledge), yang saat ini mulai digali kembali sebagai salah satu hal yang dapat memperkaya khasanah budaya nasional

Ketiga, Pada umumnya ibu-ibu dewasa ini tidak memberikan ASI secara langsung kepada anak-anaknya. Hal tersebut disebabkan antara lain karena Ibu enggan menyusui demi menjaga kecantikan payudara. Salah satu dampak modernisasi yang berakibat pada pengasuhan anak adalah mulai banyaknya orang tua yang enggan menyusukan anaknya dengan alasan agar payudaranya tetap terjaga kecantikan dan kekencangannya. Hal tersebut disebabkan karena dengan menyusukan anak dapat menyebabkan payudara menjadi kendor dan kurang menarik, sehingga memungkinkan kaum wanita merasa minder dan tidak percaya diri terutama terhadap suaminya sendiri. Dengan alasan kecantikan tersebut, tidak ada jalan lain kecuali memberikan anak susu formula yang banyak tersedia di pasar-pasar dan toko-toko swalayan dengan berbagai merek serta janji-janji dengan kandungan gizi yang tidak kalah dengan kandungan gizi dari ASI itu sendiri.

Keempat, kehadiran orang tua secara utuh di rumah dengan tugas utama mengasuh dan mendidik anak-anaknya adalah suatu hal yang semakin jarang ditemukan pada keluarga-keluarga modern saat sekarang apalagi di masa yang akan datang dengan alasan peran ekonomi dan sosial. Ketidak hadiran orang tua secara penuh di rumah mengharuskan mereka secara dini menyerahkan anak-anaknya terutama anak yang masih berada pada usia 0 – 6 tahun (golden age) kepada lembaga-lembaga sosialisasi sekunder seperti play group, tempat penitipan anak dan pre-school. Penyerahan anak Balita secara dini tersebut dianggap sebahagian besar orang tua sebagai cara yang terbaik dan paling aman bagi anak-anak, dibandingkan jika anak diasuh oleh pembantu di rumah yang tidak memiliki program dan kemampuan mengasuh yang lebih baik.

V. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengasuhan dan pendidikan pra-lahir dan fase golden age memiliki posisi sangat strategis dan urgen dalam membentuk SDM yang berkualitas, baik kualitas intelektual, emosional maupun spiritual. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis mengajukan beberapa rekomendasi terhadap orang tua, Pemrintah, Kepala Sekolah, Rektor Universitas Cokroaminoto Palopo serta seluruh masyarakat pemerhati pendidikan sebagai berikut :

1. Pembentukan kualitas tiga jenis kecerdasan yakni kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual terutama kecerdasan intelektual dimulai pada umur 0-6 tahun (golden age), sehingga membawa konsekuensi logis bahwa orang tua harus mengoptimalkan peran pengasuhannya pada priode tersebut, mulai dari fase pembuahan, kehamilan, kelahiran, balita dan kanak-kanak. Pengasuhan yang dimaksud adalah perawatan, pemberian nutrisi yang cukup memadai terutama nutrisi otak, pemberian ASI yang cukup penerapan disiplin dan pembiasaan, internalisasi dan sosialisasi ajaran agama dan nilai-nilai moral, sosial dan kebudayaan.

2. Ketidakmampuan orang tua hadir secara full time mengasuh anak akibat keterlibatannya di dunia kerja dan karena peran-peran sosialnya di masyarakat, maka jalan yang paling aman ditempuh adalah menyerahkan anak secara dini kepada lembaga-lembaga pengasuhan sekunder seperti pre-school, play group dan penitipan anak. Meskipun demikian, waktu yang tersisa hendaknya dioptimalkan pemanfaatannya dengan memberikan pengasuhan yang lebih berkualitas. Pertemuan antara anak ddengan orang tua bukan dihitung dengan kuantitasnya melainkan kualitasnya.

3. Mengingat ASI merupakan sumber nutrisi yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan bayi baik kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, maka pemberian ASI mutak diperlukan atau dianjurkan baik secara langsung dengan jalan kontak langsung antara bayi dengan payudara ibu, maupun dengan cara tidak langsung dengan jalan memeras ASI tersebut lalu diberikan kepada sang bayi dengan tetap disertasi sentuhan kasih sayang dari pengasuhnya

4. Dalam rangkan mensosialisasikan pentingnya fase pembuahan, maka seyogyanya pada saat gerbang pernikahan (malam mappacci), orang tua hendaknya tidak larut pada pelaksanaan ceremonial dengan mengabaikan hal terpenting yaitu memberi bekal terutama tentang proses pembuahan (hubungan suami isteri) kepada anak sebelum memasuki pernikahan, melainkan perlu menunjuk orang tertentu yang dianggap paling mampu mensosialisasikan hal tersebut, misalnya tokoh masyarakat, orang yang dituakan, tokoh agama, dan paling baik jika orang tua sendiri yang melakukannya.

5. Agar proses sosialisasi tentang pentingnya fese pembuahan berjalan dengan lancar dan berkualitas, perlu dibentuk lembaga sosialisasi gerbang perkawinan di setiap desa yang dapat bekerja lebih pofesional dan terprogram.

6. Mengingat pentingnya fase golden age, maka pemerintah perlu terus mensosialisasikan pentingnya mengoptimalkan pengasuhan Anak Dini Usia (golden age) baik melalui pendidikn pra sekolah (Taman Kanak-Kanak, Play Group, Panti Penitipan Anak), maupun melalui pengasuhan anak pada lingkungan keluarga.

7. Oleh karena pentingnya tahun-tahun pertama di Sekolah Dasar (kelas 1 dan 2), dituntut guru yang lebih berpengalaman dan berkualitas. Maka diharapkan kepala sekolah menempatkan guru kelas 1 dan 2 yang memiliki komitmen mendidik dan mengajar dengan hati nurani bahwa dirinya diberi tugas mengeban amanah untuk membangun manusia yang berkualitas, bukan karena sekedar melaksanakan tugas dan menyelesaikan kurikulum.

8. Untuk menciptakan guru dan calon guru yang berkualitas, maka LPTK hendaknya merekrut calon mahasiswa baru yang benar-benar memiliki minat dan komitmen yang tinggi untuk menjadi guru yang berkualitas bukan karena alasan ikut-ikutan atau karena profesi guru sekarang ini sedang menjadi primadona pasca lahirnya UU guru dan dosen.


DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Tjok Isteri Putra, 1999, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Yayasan Obor Indonesai Jakarta.

Amriyani, 2006, Anak Jalanan Berbasis Komunitas, (Kasus Kelurahan Masale Kecamatan Panakkukang Kota Makassar), Proposal Tesis, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Badruddin, Syamsiah, 2004, “Prilaku Pengasuhan Anak, Studi Kasus Pada 12 Keluarga Bugis Wajo yang Sukses Mengasuh Anak”, Disertasi, Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Baihaqi A.K, 2001, Mendidik Anak Dalam Kandungan Menurut Ajaran Paedagogis Islam, Darul Ulum Press. Jakarta.

Budi Setiawan, Bambang, “Pengasuhan Anak dan Peran Penitipan Anak”, Bulletin Padu, Edisi Perdana, Tahun 2002, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas Jakarta.

Clark, B. 1986. Growing up Giffed. Columbia, USA, CE, Memi Publishing Co.

Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Penrbit Erlangga, Jakarta, 1993.

F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer, 1999. While you’re Expecting……Your Own Prenatal Classroom, Humanics Trade, Atlanta, GA, diindonesiakan oleh Al-wiyah Abdurrahman dengan judul Cara Baru Mendidikan Anak Sejak dalam Kandungan, Kaifa, Bandung.

Hamzah, Asiah, 2000. Pola Asuh Anak Pada Etnik Jawa Migran dan Etnik Mandar (Suatu Pendekatan Etnomethodology dan Interaksionisme Simbolik), (Disertasi) Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

Jalal, Fasli, ”Pendidikan Anak Dini Usia, Pendidikan yang Mendasar”, Bulletin Padu, Edisi Perdana, Tahun 2002, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas Jakarta.

Nur Islam, Ubes, 2004, Mendidik Anak dalam Kandungan, Optimalisasi Potensi Anak Sejak Dini, Gema Insani, Jakarta.

Roberta Berr, Child Family and Commuinity, New York, CBS College, 1985.

Sarongallo, Tana’Ranggina dan ZainabTana’ Ranggina Sarongallo, 1984, Psikologi Perkembangan, FIP IKIP Ujung Pandang.

Semiawan, Conny. R. ”Pendidikan Anak Dini Usia, Belajar Melalui Bermain”, Bulletin Padu, Edisi Perdana, Tahun 2002, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas Jakarta.

Semiawan, Conny. R., 1998, Sarasehan Pengembangan Konsep Lerning by Playing dalam Pendidikan Anak-anak. Diselenggarakan oleh Gudwah Islamic Digital Edutainment, tanggal 21 Maret 1998.

Syarief, Hidayat, ”Pengembangan Anak Dini Usia: Memerlukan Keutuhan”, Bulletin Padu, Edisi Perdana, Tahun 2002, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas Jakarta.

Universitas Indonesia, 1981. Penelitian Kemajuan Belajar Anak SD di DKI, Jakarta.